Gunung Lawu merupakan salah
satu dari jajaran gunung tertinggi yang berada di Pulau Jawa. Gunung yang
memiliki ketinggian 3265 mdpl ini menjadi salah satu gunung favorit untuk ditaklukkan
oleh para pendaki. Hal ini disebabkan oleh jalur dan medan pendakian yang cukup
menantang, sehingga tidak sembarang orang yang bisa mencapai puncak tertinggi
gunung ini. selain itu gunung ini terkenal dengan nuansa Prabu Brawijayanya yang
sangat kental. Sehingga tidak mengherankan jika di waktu tertentu, seperti pada
tanggal 1 Suro, gunung ini akan ramai dikunjungi oleh orang-orang.
Terdapat tiga jalur pendakian
Gunung Lawu yang sudah familiar dikenal oleh para pendaki. Jalur pendakian
tersebut adalah pendakian Gunung Lawu via Cemoro Kandang, via Cemoro Sewu, dan
via Candi Cetho. Ketiga jalur tersebut memiliki keunikan medan dan jalur
pendakiannya tersendiri. Jalur pendakian Gunung Lawu via Cemoro Kandang dikenal
lebih ramah bagi para pendaki. Hal ini disebabkan oleh jalur dan medan
pendakian yang tidak terlalu curam dibanding jalur pendakian lain, seperti via
Cemoro Sewu dan Candi Cetho.
Meskipun ketiga jalur
pendakian tersebut sudah dikenal secara umum oleh kalangan awam para pendaki yang
ingin mendaki Gunung Lawu, sebenarnya terdapat satu jalur pendakian lain yang
memiliki keunikannya tersendiri. Jalur pendakian tersebut adalah Jalur
Pendakian Klasik Gunung Lawu via Singolangu. Jalur pendakian ini berada di
Singolangu, Kelurahan Sarangan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa
Timur, atau lebih kurang 3 km dari Telaga Sarangan. Sesuai dengan namanya,
jalur pendakian ini diyakini sebagai jalur pendakian tertua diantara semua
jalur pendakian Gunung Lawu. Selain itu, jalur ini juga diyakini sebagai napak
tilas Prabu Brawijaya V saat pergi ke Gunung Lawu untuk menghindari kejaran
pasukan Raden Fatah. Di sepanjang jalur pendakian ini nantinya para pendaki
akan menemukan beberapa situs yang diyakini sebagai petilasan Prabu Brawijaya
V.
Menurut pengakuan beberapa
sesepuh yang ada di Singolangu, jalur pendakian ini memang sudah ada sejak lama
dan tidak diketahui secara pasti kapan pertama kali jalur pendakian tersebut
muncul. Akan tetapi dulunya jalur ini tidak digunakan sebagai jalur pendakian seperti
pada umumnya. Pada saat itu orang-orang menggunakan jalur ini untuk kepentingan
spiritual. Kemudian sekitar tahun 1980-an, jalur pendakian ini sempat vakum.
Hal ini disebabkan karena belum adanya pengelola jalur pendakian terebut.
Selain itu, pada saat itu sempat terjadi peristiwa yakni hilangnya 16 orang
pendaki yang memulai pendakian di sekitar wilayah tersebut. Para pendaki
tersebut berhasil ditemukan, akan tetapi hanya satu orang yang selamat dari
tragedi tersebut. Para pendaki tersebut kemungkinan terkena hipotermia saat
melakukan pendakian sehingga tidak bisa terselamatkan. Daerah tempat
ditemukannya para pendaki tersebut dikenal sebagai Telogo Batok. Vakumnya
jalur pendakian tersebut berdampak pada kondisi jalur yang menjadi tidak terawat
dan tidak pernah dilalui lagi oleh para pendaki yang ingin mendaki Gunung Lawu.
Setelah puluhan tahun jalur
pendakian ini tidak aktif, kemudian pada akhir tahun 2018, pemuda Singolangu
yang berada di bawah naungan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), yakni
“Sanggar Margo Lawu” berinisiatif kembali membuka jaur pendakian tersebut. Terhitung
sejak akhir tahun 2018 kelompok ini mulai membuka dan mengaktifkan kembali
jalur pendakian Gunung Lawu via Singolangu.
Pada tanggal 4-5 Mei 2019,
diadakan pendakian masal Gunung Lawu via Singolangu yang sekaligus menjadi
tanda awal dibukanya kembali jalur pendakian ini. Pendakian ini diikuti oleh
521 peserta. Banyaknya minat pendaki yang mengikuti pendakian masal ini
membuktikan bahwa jalur pendakian tersebut memiliki daya tarik dan keunikannya
tersendiri. Para pendaki berpendapat bahwa keunikan jalur pendakian Gunung Lawu
via Singolangu terletak pada keindahan alamnya yang masih asri dan alami.
Terdapat banyak spesies tumbuhan yang bisa ditemukan sepanjang jalur pendakian
tersebut. Selain banyaknya spesies tumbuhan, para pendaki juga akan menemukan
banyak satwa yang jarang ditemukan di tempat lain. Salah satunya ialah Lutung.
Akan tetapi, secara keseluruhan hal yang paling menarik dari jalur pendakian
ini adalah medan jalur yang dianggap komplit dan tidak bisa ditemukan di jalur
pendakian lainnya.
Base Camp jalur pendakian Gunung Lawu via Singolangu berada di
ketinggian 1.314 mdpl. Jika diibaratkan sebagai sebuah rumah, jalur pendakian
Gunung Lawu via Singolangu diyakini sebagai pintu depan untuk masuk ke Gunung
Lawu. Pendakian Gunung Lawu via Singlangu bisa ditempuh kurang lebih dalam
waktu 8 jam. Di jalur pendakian ini terdapat banyak titik area camp bagi para
pendaki yang ingin mendirikan tenda dan beristirahat. Terdapat 5 pos di jalur
pendakian ini mulai dari gerbang pendakian hingga puncak Hargo Dumilah.
Diantara pos-pos inilah nantinya para pendaki akan menemukan beberapa situs
yang diyakini sebagai petilasan Prabu Brawijaya V.
Berikut penjelasan lebih rinci
tentang jalur pendakian Gunung Lawu via Singolangu:
Base Camp dan Gerbang Pendakian
Base
Camp dan Gerbang Pendakian Jalur Pendakian Klasik Gunung Lawu via
Singolangu berada di ketinggian 1.314 mdpl. Para pendaki bisa terlebih dahulu melakukan
registrasi dan membaca panduan, peta jalur pendakian, serta peraturan yang
dipatuhi selama mendaki lewat jalur ini. Selain itu, di sekitaran Base Camp
terdapat area yang cukup luas, sehingga cocok untuk keluarga maupun orang-orang
yang ingin berlibur dan camping di Singolangu.
Sendang Sanggar
Sendang Sanggar merupakan
salah satu sumber mata air yang berada di Singolangu, Kelurahan Sarangan,
Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Sendang Sanggar berada tidak
jauh dari gerbang pendakian. Mata air ini selalu mengalir setiap musimnya dan
tidak pernah kering. Sendang Sanggar menjadi salah satu penopang kehidupan
masyarakat Singolangu karena kualitas air yang bagus dan bisa dimanfaatkan
untuk berbagai kebutuhan.
Sendang Sanggar sudah ada
sejak daerah Singolangu belum didiami oleh banyak orang seperti pada saat ini.
Menurut cerita yang ada, mata air ini muncul karena ada seorang santri dari
sebuah pondok pesantren di wilayah Jombang yang melakukan perjalanan dan
singgah di daerah tersebut. Pada saat berada di daerah ini, sang santri ingin
melaksanakan sembahyang, akan tetapi santri tersebut tidak menemukan sumber
mata air untuk bersuci dan membersihkan diri. Oleh karena itu santri tersebut
berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan meminta adanya sumber mata air yang bisa
digunakan untuk bersuci. Doa tersebut dikabulkan dan muncullah mata air di
wilayah tersebut yang kemudian dinamai sebagai Sendang Sanggar seperti yang
dikenal pada saat ini.
Versi
lain mengatakan bahwa yang berkunjung ke wilayah tersebut bukanlah seorang
santri, akan tetapi seorang sunan. Akan tetapi alur cerita kemunculan mata air
ini tetaplah sama, yakni permintaan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk
memunculkan sumber mata air yang bisa digunakan untuk keperluan sembahyang.
Pada saat ini apabila kita berkunjung ke Sendang Sanggar, maka para pendaki
akan menemukan sebuah batu yang berada di dekat mata air tersebut. Batu inilah
yang digunakan sebagai tempat sembahyang orang yang pada awalnya berkunjung ke daerah
tesebut.
Camping Ground Kiteran
Camping
Ground Kiteran berada setelah para pendaki menempuh perjalanan lebih kurang 15
menit dari gerbang pendakian. Camping Ground ini terhampar luas di tengah hutan
pinus dan ladang milik warga. Dari Camping Ground ini para pendaki akan
disuguhi pemandangan Lingkungan Singolangu dan beberapa daerah disekitarnya.
Jika beruntung para pendaki juga bisa melihat pemandangan matahari terbenam
yang sangat bagus dari tempat tersebut.
Pemberian nama Kiteran sebagai
nama camping ground ini bukanlah tanpa sebab. Pemberian nama Kiteran disebabkan
karena dari tempat inilah diyakini sebagai awal mula pengejaran Prabu Brawijaya
V dengan pasukan Raden Fatah, yang nantinya terus menyusuri sepanjang jalur
pendakian ini.
Pos 1 (Kerun-Kerun)
Pos 1 Kerun-Kerun berada
setelah para pendaki menempuh perjalanan lebih kurang 40 menit dari gerbang
pendakian. Jalur yang dilalui oleh para pendaki hingga pos ini masih terhitung
landai dan hanya terdapat beberapa tanjakan yang menguras tenaga. Di sekitar
pos ini para pendaki bisa mendirikan tenda karena terdapat area camp yang cukup
memadai untuk menampung beberapa tenda.
Pos ini dinamakan Kerun-Kerun
berdasarkan arti kata tersebut, yakni gapura. Hal ini disebabkan karena dulunya
di daerah ini terdapat gapura yang menjadi awal masuk Prabu Brawijaya V ke
Gunung Lawu. Gapura ini sangat megah dan berlapiskan emas. Pada saat ini,
gapura tersebut tidak bisa dilihat secara kasat mata dan hanya orang-orang
tertentu saja, seperti ahli metafisika, yang bisa melihat secara langsung
gapura tersebut.
Watu Lapak
Watu
Lapak berada beberapa meter sebelum sampai ke Pos 2. Watu lapak merupakan
sebuah batu yang berbentuk seperti pelana kuda. Menurut cerita yang ada, batu tersebut
merupakan pelana kuda Prabu Brawijaya V yang tertinggal pada saat beristirahat
di daerah tersebut.
Prabu
Brawijaya V yang pada saat itu sedang dikejar oleh pasukan Raden Fatah
memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu di daerah tersebut. Prabu
Brawijaya V kemudian melepaskan pelana kudanya. Setelah dirasa cukup untuk
beristirahat, Prabu Brawijaya V kembali melanjutkan perjalannya. Akan tetapi,
pelana kuda yang tadinya dilepas tidak dipasang kembali dan tertinggal di
daerah tersebut. Oleh karena itu, pelana kuda yang sudah menjadi batu tersebut
dinamakan sebagai Watu Lapak.
Pos 2 (Banyu Urip)
Pos 2
Banyu Urip berada tidak jauh dari Watu Lapak, atau lebih kurang 1 jam 30 menit
perjalanan dari Pos 1 Kerun-Kerun. Para pendaki bisa mendirikan tenda untuk
beristirahat di pos ini, karena terdapat daerah yang cukup luas dan landai di
sekitaran pos tersebut yang bisa menampung beberapa tenda. Selain itu di Pos 2
pada pendaki bisa mengisi kembali pasokan air minum karena kira-kira 300 meter
dari pos ini terdapat sumber mata air, yakni Sendang Banyu Urip.
Sendang Banyu Urip juga
memiliki ceritanya tersendiri. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Prabu
Brawijaya V memutuskan untuk beristirahat di sekitar daerah tersebut. pada saat
itu Prabu Brawijaya V dalam kondisi kehabisan makanan dan air. Kemudian dirinya
mencari sumber mata air dan menemukannya tak jauh dari daerah tersebut. Sumber
mata air itulah yang dinamakan sebagai Sendang Banyu Urip karena berkat sumber
mata air tersebut kebutuhan Prabu Brawijaya V bisa terpenuhi.
Cemoro Lawang
Setelah
menempuh perjalanan lebih kurang 30 menit dari Pos 2 Banyu Urip, para pendaki
akan melewati sebuah pohon cemara besar yang sudah tumbang dan memiliki ruang
di tengah-tengah batangnya. Pohon cemara tersebut dikenal sebagai Cemoro
Lawang. Konon dulunya Prabu Brawijaya V di tempat tersebut bersama patih dan
pasukannya menyusun strategi untuk menghindari kejaran pasukan Raden Fatah.
Oleh karena itu, Cemoro Lawang diumpamakan sebagai balai desa karena disana
merupakan tempat berkumpulnya Prabu Brawijaya V bersama pasukannya untuk
menyusun strategi lebih lanjut.
Pos 3 (Cemaran)
Pos 3
Cemaran berada setelah para pendaki menempuh perjalanan lebih kurang 1 jam 45
menit dari Pos 2 Banyu Urip. Jalur pendakian dari Pos 2 ke Pos 3 sudah mulai
menanjak meskipun tidak terlalu curam. Mulai dari Pos 3 inilah nantinya para
pendaki harus mempersiapkan stamina yang ekstra karena medan yang akan dilalui
setelah pos ini lebih dominan menanjak. Jika Pos 1 berada di tengah-tengah hamparan hutan pinus,
maka Pos 3 berada di tengah-tengah
hamparan hutan cemara. Oleh sebab itu pos ini dinamakan sebagai Cemaran. Di Pos
3 para pendaki juga bisa mendirikan tenda karena daerah di sekitar pos ini cukup
luas.
Tanjakan Penggik Cahyo
Jalur
pendakian dari Pos 3 ke Pos 4 bisa dibilang sebagai jalur yang paling berat
dibandingkan dengan keseluruhan medan jalur pendakian Gunung Lawu via
Singolangu. Diantara pos ini nantinya para pendaki akan melewati Tanjakan
Penggik Cahyo. Dibutuhkan stamina dan tekad yang kuat untuk melewati jalur ini.
Hal ini disebabkan karena medan yang dihadapi oleh para pendaki adalah medan
yang menanjak dengan kemiringan hampir 45 derajat sepanjang lebih kurang 500
meter. Di sepanjang jalur ini para pendaki akan melihat berbagai macam plang
pemberitahuan untuk memperingati bagaimana beratnya medan yang akan dilalui,
seperti “Gunakan gigi satu” dan “Apabila ragu-ragu lebih baik kembali”. Oleh
karena itu jalur ini dinamakan sebagai Tanjakan Penggik Cahyo, karena biasanya
wajah para pendaki akan terlihat pucat saking beratnya medan yang dilalui
ketika melewati jalur ini.
Versi lain mengatakan bahwa
jalur ini dinamakan Tanjakan Penggik Cahyo karena pada saat Prabu Brawijaya V
melewati jalur ini, hari sudah berganti dari siang ke malam, sehingga nama
Cahyo berdasarkan sinar matahari yang mulai berganti dengan munculnya sinar
rembulan. Meskipun jalur ini menguras banyak tenaga, terdapat beberapa titik
area camp bagi para pendaki yang ingin beristirahat sebelum kembali meneruskan
perjalanan.
Kobongan Menyan
Kobongan
Menyan terletak di jalur Tanjakan Penggik Cahyo. Di sana para pendaki bisa
melihat sebuah pohon besar yang tumbuh di atas batu. Konon dulunya apabila
seorang spiritual yang mendaki Gunung Lawu dan melewati daerah tersebut, harus
meninggalkan sesuatu dari barang bawaannya. Oleh karena itu biasanya para spiritual
tersebut akan membawa dan membakar menyan di daerah tersebut karena tidak
terlalu berat dan susah untuk dibawa. Berdasarkan hal itulah tempat tersebut
dinamakan sebagai Kobongan Menyan.
Meskipun demikian, pada saat
ini para pendaki tidak perlu ragu dan membawa sesuatu juga untuk ditinggalkan
di daerah tersebut, karena cerita yang berkembang pada saat ini hanya tinggal
cerita dan menjadi pengetahuan bagi para pendaki yang melewati tempat tersebut.
Pos 4 (Taman Edelweis)
Pos 4
Taman Edelweis berada setelah para pendaki menempuh perjalan lebih kurang 2 jam
perjalanan dari Pos 3 Cemaran. Pos ini dinamakan Taman Edelweis karena di sepanjang
jalur menjelang pos ini para pendaki bisa melihat hamparan luas edelweiss di
kiri dan kanan jalur. Posisi pos ini sudah berada di ketinggian yang cukup
tinggi, sehingga pemandangan alam yang disuguhkan kepada para pendaki sangat
bagus. Mulai dari pos ini vegetasi pohon sudah tidak terlalu banyak. Selain itu
di pos ini para pendaki juga bisa medirikan tenda, meskipun tidak terdapat
banyak ruang karena daerah di sekitar Pos 4 tidak seluas pos-pos sebelumnya.
Bukit Family
Bukit
Family berada diantara Pos 4 Taman Edelweis dan Pos 5 Cokro Paningalan. Sebelum
mencapai bukit ini para pendaki terlebih dahulu melewati Bukit Ilalang. Wilayah
di sekitaran Bukit Family sangat luat, sehingga cocok untuk mendirikan tenda di
daerah tersebut. Penamaan Bukit Family berdasarkan sebuah pohon besar yang
terdapat di bukit tersebut. Di sekitaran pohon tersebut terdapat pohon-pohon
kecil di sekitarnya. Hal inilah yang mendasari penamaan bukit ini, karena pohon
besar tersebut diibaratkan sebagai orang tua yang mengayomi pohon-pohon kecil
di sekitarnya.
Pos 5 (Cokro Paningalan)
Pos 5
Cokro Paningalan berada setelah para pendaki menempuh perjalanan lebih kurang 45
menit dari Pos 4 Taman Edelweis. Pos ini dinamakan sebagai Cokro Paningalan
karena dari pos ini para pendaki bisa melihat sejauh mata memandang bagaimana
indahnya ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Bisa dibilang bahwa pemandangan yang
terdapat di pos ini merupakan pemandangan yang paling bagus dibandingkan dengan
pos-pos sebelumnya. Jalur dari Pos 4 ke pos ini menguras cukup banyak tenaga
karena secara keseluruhan medan yang dilalui oleh para pendaki menanjak. Di pos
ini para pendaki bisa mendirikan tenda, meskipun tidak terdapat terlalu banyak
ruang untuk area camp.
Sendang Drajat
Sendang Drajat berada setelah para pendaki menempuh
perjalanan lebih kurang 1 jam dari Pos 5 Cokro Paningalan. Di Sendang Drajat
para pendaki bisa kembali mengisi persediaan air yang bisa diambil dari sumber
mata air tersebut. Bagi para pendaki yang butuh asupan makanan bisa langsung
singgah ke Warung Mbok To yang berada tepat di sebelah Sendang Drajat. Para
pendaki bisa menikmati bermacam jenis makanan dan minuman selagi menikmati
keindahan alam. Selain itu harga makanan dan minumkan yang ditawarkan cukup
murah dan ramah di kantong para pendaki.
Hargo Dalem
Hargo Dalem merupakan salah satu puncak dari Gunung
Lawu. Hargo Dalem berada setelah pendaki menempuh perjalan lebih kurang 30
menit dari Sendang Drajat. Para pendaki nantinya akan menemukan sebuah
petilasan lain di puncak Hargo Dalem. Satu hal yang tidak boleh tertinggal jika
sampai di Hargo Dalem adalah para pendaki wajib untuk mampir di Warung Mbok
Yem, warung tertinggi di Indonesia. Para pendaki bisa menikmati makanan dan
minuman yang ada dengan harga yang murah dan ramah.
Hargo Dumilah
Hargo
Dumilah merupakan puncak tertinggi Gunung Lawu. Puncak Hargo Dumilah berada
setelah para pendaki menempuh perjalan lebih kurang 30 menit dari Sendang
Drajat. Di puncak Hargo Dumiah nantinya terdaat sebuah tugu yang menandakan
puncak tersebut merupakan puncak tertinggi Gunung Lawu. Semua rasa lelah para
pendaki akan terbayarkan apabila sudah mencapai puncak ini. Berada di
ketinggian 3265 mdpl, para pendaki akan disuguhi pemandangan alam yang sangat
indah dan tidak bisa ditemukan di gunung-gunung lainnya.
Tulisan ini saya tulis ketika mengikuti kegiatan KKN di Singolangu, Magetan, Jawa Timur, pada pertengan tahun 2019 dan pernah diupload di laman https://sarangan.magetan.go.id/portal/berita/?id=45
Komentar
Posting Komentar